Rabu, 13 Juli 2011

Rekayasa sosial budaya terhadap perubahan perilaku diet dalam upaya mengatasi permasalahan gizi buruk di Indonesia

Salah satu masalah sosial yang dihadapi Indonesia adalah rendahnya status gizi masyarakat. Hal ini mudah dilihat, misalnya dari berbagai masalah gizi, seperti kurang gizi, anemia gizi besi, gangguan akibat kekurangan yodium, dan kurang vitamin A. Rendahnya status gizi jelas berdampak pada kualitas sumber daya manusia. Oleh karena, status gizi memengaruhi kecerdasan, daya tahan tubuh terhadap penyakit, kematian bayi, kematian ibu, dan produktivitas kerja.

Program gizi yang kini telah diimplementasikan oleh pemerintah mempunyai beberapa sasaran. Pertama, menurunkan prevalensi gizi kurang pada anak balita menjadi 20 persen. Kedua, menurunkan prevalensi gangguan akibat kurang yodium (GAKY) pada anak menjadi kurang dari 5 persen. Ketiga, menurunkan anemia gizi besi pada ibu hamil menjadi 40 persen. Keempat, tidak ditemukannya kekurangan vitamin A (KVA) klinis pada anak balita dan ibu hamil. Kelima, meningkatkan jumlah rumah tangga yang mengonsumsi garam beryodium menjadi 90 persen. Keenam, tercapainya konsumsi gizi seimbang dengan rata-rata konsumsi energi sebesar 2.200 kkal per kapita per hari dan protein 50 gram per kapita per hari.

Indonesia harus menelan ”pil pahit” karena hanya sebagian kecil dari penduduknya yang kebutuhan gizinya tercukupi. National Socio-Economic Survey (Susenas) mencatat, pada tahun 1989 saja ada lebih dari empat juta penderita gizi buruk adalah anak-anak di bawah usia dua tahun. Padahal menurut ahli gizi, 80 persen proses pembentukan otak berlangsung pada usia 0-2 tahun.

Ada sekitar 7,6 juta anak balita mengalami kekurangan gizi akibat kekurangan kalori protein. Itu data yang dihimpun Susenas empat tahun lalu. Bukan tidak mungkin saat ini jumlahnya meningkat tajam karena krisis ekonomi yang berkepanjangan ditambah dengan masalah pangan yang sulit didapat. Bahkan menurut United Nations Children’s Fund (Unicef) saat ini ada sekitar 40 persen anak Indonesia di bawah usia lima tahun (balita) menderita gizi buruk.
Seorang anak yang pada usia balita kekurangan gizi akan mempunyai Intellegent Quotient (IQ) lebih rendah 13-15 poin dari anak lain pada saat memasuki sekolah. Perkembangan otak anak usia balita sangat ditentukan oleh faktor makanan yang dikonsumsi. Zat gizi seperti protein, zat besi, berbagai vitamin, termasuk asam lemak omega 3 adalah pendukung kecerdasan otak anak. Zat-zat itu bisa didapat dari makanan sehari-hari seperti ikan, telur, susu, sayur-sayuran, kacang-kacangan, dan sebagainya. Singkatnya, pola makan seorang anak haruslah bervariasi, tidak hanya satu atau dua jenis saja.

Dari diskusi terbatas pada Oktober 2005 di Bappenas, terungkap bahwa pada tahun 2003 prevalensi gizi kurang dan buruk adalah 27,5 persen, mengindikasikan belum tercapainya sasaran (20 persen). Yang menarik, data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) ini agak jauh berbeda dengan data Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 2001-2004. Dengan menggunakan acuan BB/U (berat badan menurut umur), SKRT 2001 menemukan prevalensi gizi kurang sebesar 22,5 persen dan gizi buruk 8,5 persen. Adapun data Susenas menunjukkan prevalensi gizi kurang 19,8 persen dan gizi buruk 6,3 persen. Karena itu, diperlukan harmonisasi data dengan memerhatikan keunggulan dan kelemahan pelaksanaan masing-masing survei.
Hasil survei nasional tahun 1980, 1990, 1996/1998, dan 2003 menunjukkan penurunan prevalensi GAKY yang cukup berarti. Pada tahun 1980, prevalensi GAKY pada anak usia sekolah adalah 30 persen, lalu turun menjadi 27,9 (1990), selanjutnya menjadi 9,8 persen (1996/1998). Survei tahun 2003 menunjukkan, prevalensi ini sedikit meningkat menjadi 11,1 persen.

Usaha-usaha menurunkan prevalensi GAKY mungkin dapat dikatakan sudah on the right track. Pencapaian target GAKY biasanya terkait cakupan konsumsi garam beryodium di rumah tangga. Rumah tangga yang mengonsumsi garam beryodium secara cukup, hingga tahun 2003 adalah 73.2 persen. Jika dibandingkan dengan target tahun 2004 sebesar 90 persen, maka pencapaian sasaran adalah 81,3 persen.
Prevalensi anemia gizi besi (AGB) pada ibu hamil turun dari 50,9 persen (1995) menjadi 40,1 persen (2001). Dengan sasaran yang ingin dicapai 40 persen, maka pencapaian target adalah sebesar 99,75 persen. Intervensi yang dilakukan saat ini masih berkisar pada suplementasi atau pemberian tablet besi. Strategi lain masih belum dioptimalkan seperti fortifikasi besi pada makanan serta penyuluhan.

Banyak wanita hamil yang menderita anemia karena kebutuhan zat gizi umumnya meningkat, tetapi konsumsi makanannya tidak memenuhi syarat gizi. Selain konsumsi makanan yang tidak cukup, kondisi anemia juga diperburuk oleh kehamilan berulang dalam waktu singkat. Cadangan gizi yang belum pulih akhirnya terkuras untuk keperluan janin yang dikandung berikutnya. Itulah sebabnya, pengaturan jarak kehamilan menjadi penting untuk diperhatikan sehingga ibu siap hamil kembali tanpa harus menguras cadangan gizi.

Meski dinyatakan bebas xerophthalmia (kurang vitamin A) pada tahun 1992, di Indonesia masih dijumpai 50 persen dari anak balita mempunyai serum retinol kurang dari 20 mcg/100 ml. Tingginya proporsi anak balita dengan serum retinol kurang dari 20 mcg/100 ml disertai pola makanan anak balita yang belum seimbang menyebabkan anak balita di Indonesia berisiko dan menjadi amat tergantung kapsul vitamin A dosis tinggi, terutama pada daerah-daerah dengan tingkat kemiskinan tinggi.

Masalah kekurangan vitamin A adalah bentuk kelaparan tak kentara yang sering lepas dari perhatian para pengambil kebijakan. WHO memperkirakan, pada tahun 1995 lebih kurang 250 juta anak balita di seluruh dunia menderita kurang vitamin A, 3 juta di antaranya dengan gejala kerusakan mata yang menuju kebutaan. Kira-kira 10 persen kasus orang buta di negara berkembang disebabkan kekurangan vitamin A.

Mereka yang buta karena kurang vitamin A sekitar 70 persennya meninggal dalam waktu satu tahun. Hasil penelitian Tarwotjo, Muhilal, dan Sommer di Sumatera tahun 1980-an yang dipublikasikan di berbagai jurnal internasional mengungkap kaitan kekurangan vitamin A dengan mortalitas dan morbiditas.

Angka kematian bayi terkait erat status gizi anak. Anak-anak penderita gizi kurang umumnya memiliki kekebalan tubuh yang rendah dan hal ini menjadikan dirinya rawan terhadap infeksi yang dapat menyebabkan kematian. Penyakit infeksi yang senantiasa mengintai bayi adalah diare dan infeksi saluran pernapasan.

Dalam hal angka kematian bayi, Indonesia (31/1.000 kelahiran) hanya lebih baik dibandingkan dengan Kamboja (97/1.000) dan Laos (82/1.000). Jika dibandingkan dengan negara-negara lain, kita masih tertinggal. Singapura dan Malaysia memiliki angka kematian bayi amat rendah, masing-masing 3 dan 7 per 1.000 kelahiran. Ini menunjukkan besarnya perhatian negara itu terhadap masalah gizi dan kesehatan yang dihadapi anak-anak.

Berdasarkan pada Susenas 2002, konsumsi kalori rata-rata penduduk 1.985 kkal dan 54,4 gram protein. Angka ini mendekati sasaran yang ditetapkan pemerintah. Namun, ketidakseimbangan di wilayah masih terjadi karena banyak penduduk mengonsumsi kurang dari 70 persen dari kecukupan gizi yang dianjurkan. Ini mengindikasikan, isu ketahanan pangan masih perlu diwaspadai.

Pada tahun 1997, WHO Expert Consultation on Obesity memperingatkan tentang meningkatnya masalah kegemukan dan obesitas di berbagai belahan dunia. Jika tidak ada tindakan untuk mengatasi masalah pandemik ini, jutaan manusia di negara maju maupun berkembang akan menghadapi risiko noncommunicable diseases (NCDs) seperti penyakit jantung koroner, hipertensi, dan stroke.

Disadari, banyak negara tidak memiliki data akurat mengenai masalah kegemukan dan obesitas di kalangan penduduknya. Hal ini disebabkan kurangnya prioritas untuk memahami masalah kesehatan yang amat serius ini. Apalagi negara-negara berkembang lebih memfokuskan diri pada dimensi masalah gizi kurang.

Berbagai indikator gizi itu menunjukkan, masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan untuk memperbaiki kualitas SDM kita. Persoalan kualitas SDM masih ditambah masalah-masalah moral, kejujuran, kedisiplinan yang menjadikan bangsa Indonesia sulit bersaing dengan bangsa-bangsa lain. Disadari pula bahwa gizi buruk bukan hanya merupakan masalah kesehatan saja, tapi juga terkait dengan aspek ekonomi, sosial, budaya, dan politik. Sebagai landasan bersama dalam mengembangkan program-program lintas sektor yang melibatkan institusi non Pemerintah dan masyarakat secara konkrit, Kementrian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat bekerja sama dengan berbagai sektor telah menyusun Pedoman Umum Program Aksi Nasional Pengembangan Kabupaten/Kota Percontohan dalam Upaya Peningkatan Derajat Kesehatan.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Puspa Putih | Bloggerized by Paud Puspa Putih | Pendawan Sambas